WANITA DALAM PENDIDIKAN PENDIDIKAN ISLAM KLASIK

Jumat, 18 Februari 2011

WANITA DALAM PENDIDIKAN PENDIDIKAN ISLAM KLASIK
Oleh:
Nursalimah
Pendahuluan

            Dalam agama islam, wanita diwajibkan menuntut ilmu pengetahuan seperti halnya kaum pria. Agama islam telah menyamakan wanita dan pria dalam hal-hal yang bersifat kerohanian dan kewajiban-kewajiban keagamaan tanpa perbedaan dalam bidang ilmu dan pendidikan. Rasullulah Saw bersabda yang artinya: “ telah berkata kepada kami hisyam bin ammar hafs bin sulaiman kasir bin sanjir dari Muhammad bin sirin dari annas bin malik berkata, telah bersabda Rasulullah Saw, “ menuntut ilmu diwajibkan kepada setiap muslim (laki-laki dan perempuan)”. 1
            Dalam masyarakat jahiliyah di tanah arab, wanita mempunyai hak untuk belajar dan terdapat di antara wanita-wanita itu penulis dan penyair-penyair terkenal (seperti Shifa’ al-adawiyah, yaitu seorang yang sangat pandai membaca dan menulis di zaman jahiliyah sebelum datangnya islam). 2 Setelah datangnya islam mulailah kehidupan  pikiran semakin aktif dan berkembang di kalangan bangsa arab, wanita-wanita pun memperoleh hak-hak social yang belum pernah dimilikinya sebelum datangnya islam. oleh karena itu berkembanglah pendidikan di kalangan wanita.
            Adapun yang ingin diungkapkan dalam makalah ini adalah bagaimana sebenarnya pendidikan wanita dalam peradaban islam klasik : kesempatan, Kecendrungan, dan Kaitan antara ketentuan yang ada di dalam dokrinal normative dan realitas histories.

A. Perempuan Dalam Sejarah Islam
Islam datang membawa pesan moral kemanusiaan yang tidak ada bandingnya dengan agama apapun. Islam tidak hanya mengajak manusia untuk melepaskan diri dari belenggu dan tirani kemanusiaan, tetapi lebih jauh lagi mengajak membebaskan diri dari belenggu ketuhanan yang politheis menuju kepada kebebasan dengan satu tuhan yang maha esa. Hal ini ekspelisit dalam kalimat persaksian ketika kita memasuki agama islam : “ Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain allah dan muhammad utusan allah”. Oleh karena itu, islam sebenarnya menjadi sarana yang tepat untuk menyatukan misi dan visi kesetaraan laki-laki dan perempuan. Keuntungan ini tidak dimiliki oleh agama lain.
Tetapi visi dan misi kesetaraan yang demikian tingginya dalam islam, tidak terwujud secara menyeluruh dalam kehidupan yang nyata. Hal inilah yang selama ini dikritik oleh kalangan aktivis dan intelektual yang memperjuaangkan hak-hak perempuan, baik dalam islam sendiri maupun dari luar islam. menurut mereka, islam identik dengan jargon-jargon perlawanan terhadap segala upaya pemberdayaan perempuan. Apalagi fenomena ini semakin diperparah dengan munculnya gerakan sekelompok orang yang mengatasnamakan islam yang dengan jelas menolak ide kesetarahan dan kesejarahan laki-laki dan perempuan dalam islam.
Sejarah telah menunjukkan bahwa kedudukan perempuan pada masa nabi tidak hanya di anggap sebagai istri, pendamping serta pelengkap laki-laki saja, tetapi lebih dipandang sebagai anak manusia yang memiliki kedudukan serta dalam hak dan kewajiban manusia lain di hadapan tuhan.
Rasullah saw telah memulai suatu tradisi baru dalam memandang pe rempuan. Pertama, ia memiliki dekonstruksi terhadap cara pandang masyrakat arab yang masih didominasi oleh cara pandang fir’aun. Setiap kelahiran yang berjenis perempuan muka mereka langsung masam. Karena itu, secara demonstrasi rasullah Saw sering membanggakan anak-anak perempuannya dihadapan mereka. Dengan tanpa malu-malu, Rasullulah juga menggendong anak perempuannya di muka umum. 3
Kedua, secara pribadi Rasullulah Saw juga memberikan teladan bagi perlakuan baik kepada wanita. Sikap tauladan yang sangat menonjol keadilan beliau dalam menggauli istri-istrinya. Tidak pernah didengar sebuah riwayat pun yang menyatakan Rasullah Saw berbuat tidak adil terhap istri-istrinya. Bukti lain, Rasullah Saw tidak pernah melakukan kekerasan terhadap istrinya. Dalam satu riwayat beliau menyatakan, “ sebaik-sebaik kamu sekalian adalah sebaik-baik perlakuan kamu terhadap istri-istrimu, dan saya adalah orang yang terbaik diantara kamu sekalian terhadap istri-istriku”. 4
            Aisyah berkata : “ betapa hebatnya kaum perempuan ansor Mereka tidak merasa malu saat mempelajari ilmu pengetahuan yang benar dalam agama” kaum perempuan tekun melakukannya dan secara teratur menghadiri majlis-majlis ini. Disana mengajukan berbagai macam pertanyaan-pertanyaan kepada nabi, sebagian bersifat umum dan sebagian lagi menyangkut persoalan sekitar perempuan. Dalam sebuah riwayat dari Abu Said al-Khudri, diceritakan sebagian perempuan memohon agar nabi menyisikan sehari saja untuk mereka, karena kum llelaki selalu menghabiskan mereke bersama nabi Saw. Sebagai respon terhadap permintaaan para perempuan tersebut beliau menjanjikan kepada meraka suatu hari untuk belajar agama dan mengkaji wahyu allah. 5
            Dengan demikian, secara teoritis ide kesetaraan laki-laki dan perempuan teelah ada dalam system etika islam bahkan praktis, gerakan perempuan telah muncul pada masa awal islam. pada masa ini perempuan dapat melakukan aktifitas secara leluasa dan tidak dibedakan dengan aktifitas yang dilakukan oleh laki-laki. Boleh dikatakan masa nabi merupakan masa kehidupan yang ideal bagi perempuan.
            Namun, pada masa umar bin khottab (634-644 M), perlakukan baik terhadap perempuan relative menurun. Umar mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang agak memarginalkan perempuan. Ia restriktif terhadap perempuan dalam urusan kehidupan public dan pripat dengan dalil melindungi.
Umar menganjurkan istrinya untuk tetap dirumah dan meminta mereka untuk tidak beribadah dimesjid-mesjid. Ia melembagakan ibadah yang tersegrasi dan memilih imam sesuai jenis seksualnya. Ia memilih imamnya perempuan dan sebaliknya laki-laki untuk laki-laki. Tetapi laki-laki boleh mengimani perempuan . 6 Tindakan Umar ini telah memancing ketidaksenangan oleh Ummul mukminin meskipun ungkapan tersebut tidak tercatat oleh sejarah islam. juga yang tidak tercatat dalam sejarah adalah oposisi janda-janda Nabi terhadap kebijakan Umar yang melarang perempuan menghadiri mesjid-mesjid.
            Pada masa Usman (644-656 M), janda-janda nabi didijinkan lagi menunaikan ibadah haji dan menarik kembali peraturan Umar tentang imam. Laki- laki dan perempuan boleh hadir ke mesjid bersama-sama meskipun perempuan dikelompokkan dalam tempat yang tersendiri dan berdiri dibelakang laki-laki.
            Selanjutnya, pada masa dinasti abbasiyah secara mencengangkan dirasakan hilangnya perempuan dari arena-arena sentral urusan masyarakat. Dalam periode ini, tidak dijumpai perempuan yang menghuni mesjid, berjuang di medan peperangan, dan mereka pun tidak berpartisipasi sebagai penyumbang-penyumbang kunci dalam kehidupan budaya dan produksi mereka.
            Adapun dinegri Andalusia, zaman keagungan wanita masih tetap verjalan terus sampai abad ke-15 lebih kurang. Dalam masa yang panjang itu, para wanita muslimah kembalim mendapat kesempatan yang besar untuk memperoleh pendidikan dan kebudayaan. 7 Demikian keadaanya sehingga pendudkung-pendukung konservasi tidak dapat menyetop kemajuan wanita, kecuali pada waktu dunia islam dilanda kelemahan dalam segi akhlak dan politik.
Dengan demikian, laki-laki dan perempuan sama haknya untuk belajar membaca dan menulis buku-buku agama dan moral, juga buku-buku mengenai masalah kesehatan, menejemen rumah, pendidikan anak-anak dan sebagainya. Semua bahan bacaan akan membawa kaum perempuan dari gelapnya kebodohan kepada cahaya ilmu pengetahuan. klick Selanjutnya dan Download



0 komentar:

Posting Komentar